Pemetaan Bahasa

Dari kelas Filsafat Bahasa Tommy Awuy, dosen filsafat UI

 

Apa itu bahasa? “Apa” dan “itu”, mereka sudah bahasa. Mau sebut kata “bahasa” saja sudah memerlukan bahasa indonesia. Kalau dalam bahasa inggris, “bahasa” terjemahannya adalah “language”, keduanya terdengar berbeda, namun merujuk pada sebuah objek yang sama. Jika saya seorang Indonesia yang bertemu dengan orang bule (anggaplah bulenya orang inggris dan tidak bisa berbahasa indonesia), dan ketika saya ingin mengatakan “bahasa”, maka saya harus menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris agar dia mengerti, yaitu “language”.

 

Saya heran, saya ngomongnya “language”, tapi dia mengerti maksud saya, objek yang saya bicarakan itu adalah “bahasa”. Bingung? Mudahnya begini, ada anjing di tengah jalan, saya ingin memberi tahu kepada orang bule itu bahwa ada anjing, maka saya sebut “dog”, dan saya heran, dia mengerti maksud saya bahwa “dog” itu anjing. Padahal kalau bahasa indonesia disebut anjing, mereka sebut dog, tapi bisa merujuk pada objek yang sama.

 

Dengan demikian, maka bahasa itu memiliki 4 hukum. Pertama, bahasa itu melambangkan atau merepresentasikan sesuatu, atau disebut hukum referensial. Ada sebuah objek berkaki empat, memiliki satu ekor, 2 mata, 2 telinga, 1 hidung, berbulu, suka menjulurkan lidah, dan disebut anjing (ciri-cirinya sama dengan kucing, apa bedanya? Dilihat baru tahu berbeda). Hanya yang seperti itu (saya berasumsi semua sudah lihat anjing secara riil) yang disebut anjing, beda dengan kucing, serigala, macan, walaupun mirip. Kalau menurut Plato manusia itu sudah punya ide tentang “keanjingan”, sehingga tahu dengan jelas karakteristik anjing yang memang objek itu merujuk pada anjing.

 

Tetapi selain hukum referensial, juga ada hukum kedua, yaitu: hukum konsensus. Hukum konsensus berarti banyak manusia (masyarakat) bersama-sama sepakat menamakan suatu objek, dan tidak boleh disebutkan dengan kata yang lain. Seperti anjing, saya yakin tidak semata-mata anjing merepresentasikan “anjing” itu, pasti ada kesepakatan bersama di mana di Indonesia itu disebut anjing, di Inggria disebut dog, di Cina disebut gou, dan sebagainya. Memang kata anjing itu referensial, tetapi juga kemudian disetujui oleh kesepakatan bersama.

 

Hukum ketiga yaitu hukum logika. Bahasa terdiri dari berbagai macam hal seperti huruf, kata, kalimat, paragraf,  kata kerja, kata sifat, dan sebagainya. Bahasa hanya bisa dimengerti apabila tersusun dan terstruktur. Agar bahasa tersusun dan terstruktur, maka tak bisa lepas dari yang namanya logika. Logika berhubungan dengan pikiran manusia. Pikiran itu sendiri sesungguhnya adalah susunan rangkaian subjek, kata sambung, dan predikat. Wittgenstein pernah mengatakan bahwa berpikir itu sendiri tak lain adalah bahasa. Jadi semua pada dasarnya adalah bahasa. Agar bahasa dapat dimengerti dengan baik, maka harus disusun dengan logika, harus setidaknya mengandung subjek, kata sambung dan predikat. Orang yang belajar matematika seharusnya dapat mengatur ucapannya (bahasanya) dengan baik (seharusnya, saya tidak tahu realitanya bagaimana, denger-denger ada saja yang tidak pandai berbicara), karena logikanya kalau hebat berlogika, maka menyusun bahasa juga harus tepat, karena matematika itu adalah persoalan bahasa.

 

Hukum keempat yaitu ekspresi. Selain bahasa adalah logika, maka bahasa juga merupakan ekspresi. Ekspresi berarti yang keluar dari emosi manusia. Yang keluar dari emosi manusia, mungkinkah ada hal yang tidak logis? Mungkin saja, tetapi seekspresif dan sebebas apapun manusia mengungkapkan perasaannya, tak bisa lepas dari sistem atau logika. Biasanya seniman-seniman sangat ekspresif dan terlihat tidak sistematis. Ada seniman yang berkata bahwa seni tidak boleh dibatasi aturan-aturan, karena pada dasarnya adalah ekspresi. Tapi ketika disuruh menjelaskan maksud lukisannya, maka ia pun harus menjelaskan lukisannya dengan masuk akal. Layaknya lukisan-lukisan avant-garde yang merombak pemikiran sebelumnya, tak bisa pula sesungguhnya lepas sepenuhnya daripada logika. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ekspresi dan logika adalah kedua hal yang berbeda.

 

Sampai saat ini (dan memang seharusnya) bahasa terdiri dari 4 hukum ini, (sekali lagi) yaitu hukum referensi, konsensus, logika, dan ekspresi. Dari 4 hukum ini, terciptalah pemikiran filsafat yang besar. Pertama, gabungan antara referensial dan ekspresi yaitu filsafat fenomenologi dan eksistensialisme. Di dalam filsafat ini, ekspresi sangat terlihat, ada keberanian dan kebebasan. Pemikiran filsafat kedua, yaitu pragmatisme. Pragmatisme merupakan gabungan ekspresi dan konsensus, di mana biasanya orang-orang yang berpidato atau beretorika berdiri di pemikiran pragmatis ini. Hubungan antara pemikiran eksistensialisme dan fenomenologi dengan pragmatisme begitu dekat, keduanya dikategorikan sebagai bahasa subjektif.

 

Pemikiran besar selanjutnya yaitu positivisme logis dan filsafat analitik. Merupakan gabungan referensial dengan pikiran. Dalam ranah ini, bahasa harus sangat sistematis, terstruktur, dan pengertian harus jelas dan benar, salah kata berarti salah, antara objek dan kata harus tepat. Ranah ini menjelaskan bahwa kesalahan berpikir itu terjadi apabila salah menyusun kata (preposisi). Pemikiran terakhir, yaitu strukturalisme, gabungan antara logika dengan konsensus. Hukum dan peraturan perundang-undangan dibuat di sini, individu harus tunduk dan tidak ada kebebasan berekspresi. Hubungan antara positivisme logis dan strukturalisme begitu dekat, keduanya dikategorikan sebagai bahasa objektif atau akademik.

 

Sekarang sudah lebih jelas melihat pemetaan bahasa? Ya, itulah bahasa yang masuk di dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa sadar (sebenarnya pasti sadar, cuma tidak fokus) kita menggunakan hukum-hukum tersebut, kita pun berada di dalam atau pemikiran filsafat itulah yang masuk ke pikiran kita.

 

Demikianlah penjelasan awal dan singkat mengenai filsafat bahasa. Tulisan ini saya dengar dari dosen filsafat UI, dan bukan transkrip, melainkan berdasarkan catatan dan memori saya, maka ada kemungkinan ketidakcocokan antara tulisan saya dengan ceramah beliau

Leave a comment